Muhasabah

Sejarah dan sebab-sebab Pemalsuan Hadits.
oleh

Ibnu Rusydi.
A. PENDAHULUAN

Seluruh umat Islam, baik ahli naql
atau ahli aql telah sepakat bahwa
Hadits merupakan salah satu hukum
islam, dan kita telah mengetahui
bahwa seluruh umat islam
diwajibkan mengikutinya
sebagaimana mungkin Al qur’an.
Tegasnya bahwa Al qur’an dan Al-
hadits merupakan dua sumber
hukum islam yang tetap, sehingga
orang islam tidak mungkin mampu
memahami syari’at islam tanpa
kembali kepada kedua sumber
tersebut. Mujtahid dan orang orang
alimpun tidak diperbolehkan hanya
mencukupkan diri dengan salah satu
dari kedua sumber tersebut. Hadits
merupakan sumber hukum islam
yang ke dua setelah Al Qur’an dan
diyakini sebagi sesuatu yang paling
penting dalam menetapkan hukum,
akan tetapi pada waktu tertentu ada
beberapa golongan yang
memalsukan Hadits .Kesenjangan
waktu antara sepeninggalan
Rosululloh SAW dengan waktu
Pembukuan hadits merupakan
kesempatan yang baik bagi kelompok
kelompok tertentu yang membuat
buat hadits palsu karena
kepentingan kelompok masing
masing. Dalam makalah ini kami
akan mencoba memapaparkan
tentang devinisi Hadits Palsu, Sebab
sebah Munculnya Hadits Palsu, Cara
menanggulangi Hadits Palsu, Hukum
Hadits Palsu dan Munculnya
Madzhab Ahlu Hadits dan Ro’yi.

B.PEMBAHASAN

a. Devinisi Hadits Palsu (Maudu’)

Hadith Maudhu’ adalah merupakan
dua perkataan yang berasal daripada
bahasa Arab yaitu al-Hadith dan al-
Maudhu’. Al-Hadith dari segi bahasa
mempunyai beberapa pengertian
seperti al-hadith dengan arti baru
(al-jadid) dan al-hadith dengan arti
cerita (al-khabar). [1]
Sedangkan Hadits menurut ulama
ahli hadits adalah: sesuatu yang
bersumber dari Nabi SAW, baik yan
berupa perkataan, perbuatan
maupun ketetapannya. Pengertian
ini sama dengan pengertian yang
dibuat oleh ulama hadith terhadap
al-Khabar dan al-Athar. [2]
Sebahagian ulama mendefinisikan al-
Hadith sama arti dengan al-Sunnah.
[3]
Maudhu’ dari sudut bahasa berasal
dari kata wadha’a – yadha’u –
wadh’an wa maudhu’an – yang
mengandung beberapa pengertian
antaranya: telah menggugurkan,
menghinakan, mengurangkan,
melahirkan, merendahkan, mencipta,
menanggalkan, menurunkan. [4]
Oleh karena itu Maudhu’ (di atas
neraca isim maf’ul – benda yang
kena dibuat) akan membawa arti
dicipta atau direka. Di dalam
definisi yang lebih tepat lagi ulama
hadith mendefinisikannya adalah
segalas sesuatu yang yang tidak
pernah keluar daripada Nabi SAW,
baik dalam bentuk perkataan atau
perbuatan atau taqrir, tetapi
disandarkan kepada baginda SAW,
baik secara sengaja atau tersalah,
jahil atau memperdaya.[5]
Dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan bahwa sesuatu yang
bukan berasal dari Nabi, baik yang
berupa ucapan, tindakan maupun
ketetapan tidak dapat dinamakan
Hadist. Andaikata ada yang
menyebutnya sebagai hadist, maka
sudah tentu adalah hadist maudlu
atau palsu, yaitu: hadist yang
dibuat-buat atau diciptakan
seseorang secara dusta atas nama
Nabi SAW, baik dengan sengaja atau
tidak sengaja. Tidak sengaja itu bisa
dengan sebab kebodohan, kekeliruan
ataupun kesalahannya. Meskipun ia
tidak secara langsung berdusta,
tetapi tetap saja riwayatnya
dinamakan maudlu’ (palsu)

b. Sejarah timbulnya pemalsuan
hadits [6].

Pada zaman Nabi, boleh dikatakan
tidak ada pemalsuan hadits, sebab
nabi bersikap tegas sekali dalam
menegakkan kebenaran dan keadilan
dalam memberantas segala macam
kebohongan dan kepalsuan. Pada
masa pemerintahan Abu Bakar
(tahun 632 M-634 M) Umar (tahun
634 M-644 M) beliau sangat teliti
dan hati hati terhadap penerimaan
dan penyampaian ajaran ajaran
Nabi. Beliau juga menyerukan
kepada seluruh umat islam agar
hati-hati dan waspada didalam
menerima dan menyampaikan Hadits
hadits Nabi. Kholifah tidak segan
segan mengambil tindakan terhadap
siapapun yang tidak mengindahkan
seruan dan perintah dari kedua
kholifah tersebut. Tindakan tesebut
terpaksa dilakukan demi menjaga
kemurnian ajaran ajaran nabi dan
menghindari kemungkinan
penyalahgunaan oknum oknum yang
tidak bertanggung jawab terhadap
hadits hadits nabi untuk tujuan
politik. Karena itu pada masa ini
dapat dikatakan belum ada
pemalsuan hadits. Pada masa
kholifah utsman bin affan (tahun
644 M-656 M) dari pengikut pengikut
Abdullah bin saba’ (seorang munafik
yang ulung) telah mulai berani
melancarkan fitnah dan provokasi
dikalangan umat islam dengan
tujuan memecah belah umat islam
dan untuk menimbulkan kebencian
umat islam kepada kholifah yang
sah, sehingga menyebabkan
terbunuhnya kholifah utsman bin
affan (tahun 656 M) mereka telah
berani membuat kebohongan dalam
ajaran ajaran Nabi (Pemalsuan
Hadits). Pada masa pemerintahan
Ali (656 M-661 M) terjadi perang
saudara antara Ali dan Mu’awiyah.

c . Pergolakan politik dan
pemalsuan hadits. [7]

Pergolakan politik ini terjadi pada
masa sahabat, setelah terjadinya
perang jamal dan perang siffin,
ketika kekuasaan dipegang oleh Ali
bin abi Tholib. Akan tetapi,
akibatnya cukup panjang dan
berlarut larut, dengan terpecahnya
umat islam kedalam beberapa
kelompok (khowarij, syiah, muawiyah
dan golongan mayoritas yang tidak
termasuk dalam ketiga kelompok
tersebut) . Secara langsung atau
tidak langsung, pergolakan politik
tersebut memberikan pengaruh
terhadap perkembangan hadits
berikutnya. Pengaruh yang langsung
dan bersifat negatif ialah munculnya
hadits hadits palsu ( maudu’ ) untuk
mendukung kepentingan politiknya
masing masing kelompok dan untuk
menjatuhkan posisi lawan lawannya.
Adapun pengaruh yang berakibat
positif adalah lahirnya rencana dan
usaha yang mendorong diadakannya
kodifikasi atau tadwin hadits sebaga
upaya penyelamatan dari
permusnahan dan pemalsuan
sebagai akibat dari pergolakan
politik tersebut.

d. Sebab sebab munculnya hadits
hadits palsu.

Sebab sebab munculnya hadits
hadits palsu ialah karena
terpecahnya umat islam menjadi
tiga golongan akibat terjadinya
fitnah diakhir masa Utsman R.A
maka terpecahlah umat islam
menjadi tiga golongan yaitu: syiah,
khowarij, dan jumhur.
Dengan terpecahnya umat islam
tersebut, menyebabkab masing
masing mereka didorong oleh
keperluan dan kepentingan golongan
untuk mendatangkan keterangan
keterangan yang diperlukan oleh
golongan, maka bertindaklah mereka
membuat hadits hadits palsu dan
menyebarkannya ke masyarakat.
Mulai saat itu terdapatlah
diantaranya riwayat riwayat yang
shohih dan riwayat riwayat palsu,
yang kian hari bertambah banyak
dan beraneka ragam.
Mula mula mereka memalsukan
hadits hadits mengenahi pribadi
pribadi orang yang mereka
agungkan. Orang orang yang
pertama membuat hadits palsu ialah
golongan syiah, Tempat mula
berkembangnya hadist palsu adalah
Irak tempat kaum syiah berpusat
pada waktu itu. Selain faktor konflik
politik, dalam perkembangan
selanjutnya ada beberapa hal yang
turut mendorong semakin meluasnya
hadist palsu. Diantara beberapa
faktor tersebut adalah:

1. Kafir Zindiq , yaitu mereka yang
berpura-pura Islam tetapi
sesungguhnya mereka adalah kafir
dan munafik yang sebenarnya.

2. Satu kaum yang memalsukan
Hadits karena mengikuti hawa nafsu
dan mendekatkan diri kepada
penguasa.

3. Qashas (Tukang-tukang cerita).

4. Satu kaum yang memalsukan
hadits-hadits untuk tujuan yang
menguntungkan dirinya.

5. Fanatisme golongan, jenis,
negeri dan lainnya

6. Semakin terpecah-pecahnya
umat Islam dalam golongan-
golongan yang beraneka ragam.
Seperti dikatakan ibnu abil hadid
(ulama’syiah) dalam kitab nahyul
balaghoh, katanya: “ketahuilah
bahwa asal asalnya timbul hadits
yang menerangkan keutamaan
pribadi pribadi adalah golongan
syiah sendiri ”.
Perbuatan mereka ini ditandingi
oleh golongan sunnah (jumhur) yang
awam. Mereka juga membuat hadits
palsu untuk mengimbangi hadits
hadits palsu yang dibuat golongan
syiah itu. Demikina pula golongan
khowarij, juga membuat hadits
hadits palsu dalam rangka
mempertahankan golongannya.
Dengan demikian meluaslah riwayat
riwayat hadits palsu dikalangan
masyarakat islam saat itu. Keadaan
yang demikian itu menggugah para
ulama untuk menyeleksi dan
menyaring mana diantara hadits
yang shohih dan mana diantara
hadits yang palsu. Sehingga lahirlah
ilmu mustholah hadits.

e.Langkah langkah penanggulangan
hadits palsu[8]

Melihat adanya pemalsuan hadits
yang berkembang dalam masyarakat,
bergeraklah para ulama untuk
membela syari’at dam memelihara
agama islam. Mereka berusaha
menyaring dan menapis hadits
hadits yang diriwayatkan itu. Hadits
hadits yang shohih mereka ambil
dan hadits hadits yang diduga palsu
atau dho’if mereka tinggalkan. Mulai
saat itu tumbuhlah ilmu yang
dinamakan ilmu jarh wa ta’dil. Para
ulama menerangkan kejelekan-
kejelekan pemalsuan hadits dan
menyuruh manusia berhati hati,
serta menerangkan hadits hadits
palsu dan maksud maksud atau
motif-motif dibuatnya hadit palsu.
Sebenarnya pembicaraan mengenahi
jarh wa ta’dil telah tumbuh sejak
zaman sahabat kecil. Diantaranya
sahabat sahabat yang
memperhatikan rawi ialah ibnu
abbas, ubadah ibnu samit dan anas.
Diantara tabi’in yang memperhatikan
keadaan perawi perawi hadits ialah
as sya’bi, ibnu sirin, hasan bisri dan
sa’id bin musayyab.
Demikian usaha usaha atau langkah
langkah para ulama dalam
menanggulangi pemalsuan hadits,
pada periode tabi’in.

f.Hukum Hadits Palsu.

Ulama sepakat bahwa hadist palsu
tidak dapat dijadikan dasar rujukan
dalam menetapkan hukum syari’at.
Sangat dapat dimaklumi para Ulama
sepakat untuk melarang penyebaran
dan penggunaan hadist palsu.
Karena Rasulullah sendiri juga
mengecam orang-orang yang
menyebarkan dan mempergunakan
hadist palsu.
Rasulullah SAW bersabda:

ﻣﻦ ﺣﺪﺙ ﻋﻨﻰ ﺑﺤﺪﻳﺜﻰ ﻳﺮﻯ
ﺍﻧﻪ ﻛﺬﺏ , ﻓﻬﻮ ﺍﺣﺪ ﺍﻟﻜﺎﺫﺑﻴﻦ

Artinya: Barangsiapa yang
menceritakan dariku satu hadist
yang ia ketahui sesungguhnya hadits
tersebut dusta/palsu, maka ia
termasuk salah seorang pendusta
Dalam hadist lain, Rasulullah
bersabda:

ﻣﻦ ﻛﺬﺏ ﻋﻠﻲ ﻣﺘﻌﻤﺪﺍ,
ﻓﻠﻴﺘﺒﻮﺍﺀ ﻣﻘﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ

Artinya: Barang siapa berdusta atas
namaku dengan sengaja, maka
hendaklah ia siapkan tempat
duduknya dari api neraka”
Terlebih lagi dampak daripada
hadist palsu yang sangat berbahaya
bagi umat Islam. Diantara dampak
hadist palsu ialah sangat potensial
dalam mengekalkan perpecahan
diantara umat Islam, semakin
tersebarnya bid’ah, merusakkan
akidah dan lain sebagainya.

g.Munculnya Madzhab Ahlu Hadits
dan Ahlur ro’yi [9]

Para mujtahid pada masa tabiin ini
terbagi menjadi dua madzhab, yaitu
madzhab ahlul hadits dan madzhab
ahlur ro’yi. Kedua madzhab ini
timbul dari satu tubuh, yaitu dari
golongan jumhur sendiri, yang
diantaranya disebabkan berlainan
situasi yang dihadapi diantara
mereka. Madzhab ahlul hadits ini
tumbuh di hijaz yang situasinya
masih sederhana, sehingga tidak
memerlukan pikiran dalam
menghadapi masalah yang timbul.
Sedangkan madzhab ahlur ro’yi
timbul terutama di irak, yang
situasinya nash, dalam menghadapi
berbagai masalah. Untuk lebih
jelasnya dua madzhab tersebut kami
paparkan di bawah ini.

1. Madzhab Ahlu Hadits
Madzhab ahlul hadits ialah golongan
yang menfatwakan sesuatu hukum
menurut nash hadits yang telah
mereka peroleh saja. Mereka tidak
mau menfatwakan berdasarkan ro’yi
(qiyas / membandingkan sesuatu
hukum kepada yang lain yang sama
illatnya)
Ulama’ ahlul hadits dalam
menanggapi sesuatu masalah
apabila tidak memperoleh hukum
dari Al qur’an dan hadits, lalu
memperhatikan pendapat pendapat
sahabata: kalau tidak memperoleh
pendapat sahabat sahabat barulah
mereka berijtihad, bahkan mereka
sering berdiam diri. Mereka
mendahulukan hadist walaupun
hadits itu tidak masyhur, diatas
kedudukan qiyas (ro’yu)
Demikian pendirian ulama hijaz.

2 . Madzhab Ahlur ro’yi
Madzhab ahlur ro’yi ialah golongan
yang berpendapat bahwa hukum
hukum syari’at dapat difahamkan
maknanya dan mempunyai beberapa
dasar yang harus menjadi pegangan.
Golongan ini dapat menetapkan
hukum berdasarkan ro’yu (qiyas)
apabila dalam suatu masalah yang
dihadapi tidak didapati nash nash
qur’an atau hadits. Mereka
menfatwakan hukum menurut
ijtihadnya dikalatidak terdapat
baginya dalil yang terang dan tegas.
Juga mereka menyelidiki illat hukum
dan makna makna yang maksudkan
dari padanya. Golongan ini tidak
keberatan menolak hadits yang
disampaikan orang kepadanya, bila
menurut mereka hadits itu
berlawanan dengan dasar dasar
syari’at, apabila berlawanan dengan
hadits hadits lain.
Mula mula madzhab ahlur ro’yi ini
lahir di irak. Oleh karena itu ulama
ulama irak berkomentar: ulama hijaz
dinamai ahlul hadits sedangkan
ulama irak dinamai ahlu ro’yi.

D. KESIMPULAN
Sebagaimana kita ketahui bahwa
fungsi hadits Nabi sangat urgen bagi
umat Islam Kedudukan hadits yang
merupakan sumber otentik hukum
Islam dibawah al-Qur’an. Oleh
Karena itu, perlu sekali untuk sangat
hati-hati dalam mengambil atau
menggunakannya. keaslian suatu
hadits harus dijaga. dengan cara
seselektif mungkin terhadap riwayat
yang sampai kepada kita.
Meriwayatkan hadits atau
menyandarkan sesuatu kepada Nabi
SAW, bukanlah perkara yang ringan,
tetapi merupakan sesuatu yang
sangat berat. Kita harus bisa
memilah milah dan melihat pada
dampak dan akibat yang
ditimbulkannya, baik bagi umat
Islam secara umum maupun dalam
eksistensi syari’at khususnya.
Wallahu a’lam bissowab.
[1] Ijaj al-Khatib, Usul al-Hadith
‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, hlm.
26-27.
[2] Al-Syaikh Jamaluddin al-Qasimi,
Qawaid al-Tahdith , hlm. 61.
[3] Abdul Fatah Abu Ghuddah,
Lamhat Min Tarikh al-Sunnah wa
‘Ulum al-Hadith , h. 27.
[4] Al-Duktur Ibrahim Anis, et. al, al-
Mu’jam al-Wasit, hlm. 1039.
[5] Abdul Fatah Abu Ghudah, op.
cit,hlm. 41.
[6] Prof,Drs. H. Masjufuk, 1993.
Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya.PT.
Bina Ilmu Hlm.116-117
[7] Drs. H. Mudatsir.1999. Ilmu
Hadits .Bandung. CV.Pustaka setia.
Hlm.103
[8] Drs.Abdul Aziz,1990. Tarikh
Tasyri’ .semarang.wicaksana. hlm.68




 HUKUM MEMANJANGKAN JANGGUT DAN MENCUKUR KUMIS*
Oleh : Wawan Shofwan Shalehuddin
Sebenarnya masalah membiarkan janggut dan mencukur habis kumis bukan masalah baru. Hal ini merupakan masalah yang terang dan jelas dengan dalil-dalil yang shahih. Hadis-hadis-nya secara garis besar dapat dikatakan sangat lengkap, yaitu dengan bentuk insyaiyah dan khabariyah. Maka dengan dalil-dalil tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa membiarkan janggut dan mencukur kumis sampai habis bukan lagi merupakan perkara muamalah tetapi sudah merupakan perkara taabudi.
Hadis-hadis tentang membiarkan janggut dan mencukur kumis itu cukup banyak. Dan diungkapkan dalam dua bentuk :
a) khabariyah (berita)
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ  r عَشْرَةٌ مِنَ الْفِطْرَةِ  قَصُّ الشَّارِبِ وَقَصُّ اْلأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَاِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكِ وَالإِسْتِنْشَاقُ  وَنَتْفُ الأِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاِء
dari Aisyah dari Rasulullah saw., ” Sepuluh yang termasuk fitrah; mencukur kumis, memotong kuku, membersihkan kotoran-kotoran badan, membiarkan janggut, menggosok gigi, berkumur-kumur, mencabuti bulu ketiak, menghilangkan bulu kemaluan, dan bercebok. “
hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, Shahih Muslim syarah An-Nawawi, juz III:147; Abu Daud, Sunan Abu Daud I:21; At-Tirmidzi V:85; Abu Awanah, Musnad Abu Awanah I:190-191; Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra I:36; Ahmad
Hadis disampaikan pula oleh sahabat Amar bin Yasir riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah, serta sahabat Ibnu Umar riwayat Al-Bukhari (Tuhfatul Ahwadzi VIII : 38)
b) Insyaiyah (amr atau perintah)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ  r قَالَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَاَعْفُوا اللِّحْيَ
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw. beliau bersabda, “Cukurlah kumis-kumis dan biarkanlah janggut-janggut.”
 Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, Shahih Muslim syarah An-Nawawi, juz III:146; Ahmad, Al-Musnad II:233; An-Nasai, juz VIII:504; At-Tirmidzi V:88;
Abu Awanah, Musnad Abu Awanah I:189. pada riwayat Abu Ya’la (Musnad Abu Ya’la X:105) dan An-Nasai yang lain (Sunan An-Nasai, juz VIII:504) dengan redaksi sebaliknya:
أَعْفُوا اللِّحْىَ وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Biarkan janggut-janggut dan cukurlah kumis-kumis
Sedangkan pada riwayat Al-Bukhari (Fathul Bari XI:543) dengan redaksi:
اِنْهَكُوا الشَّوَارِِبَ وَأَعْفُوا اللِّحْىَ
Cukurlah kumis-kumis sampai habis dan biarkanlah janggut-janggut
Adapun pada riwayat-riwayat yang lain, yakni Muslim, Shahih Muslim syarah An-Nawawi, juz III:147; Abu Daud, Sunan Abu Daud III:289; Ibnu Hiban, Al-Ikhsan VII:407-408; Malik, Tanwirul Hawalik, juz III:123; Abu Awanah I:189; Al-Baghawi, Syarhus Sunnah XII:107, Ibnu Umar menyatakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  r  أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبَ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَ
Bahwasanya Rasulullah saw. memerintahkan agar mencukur kumis-kumis sampai habis dan membiarkan janggut-janggut
Bahkan pada riwayat Ibnu Jarir ditegaskan dengan lafal
فَقَالَ مَنْ أَمَرَكُمَا بِهَذَا قَالاَ اَمَرَنَا بِهذَا رَبُّنَا يَعْنِيَانِ كِسْرَى فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  لكِنَّ رَبِّي قَدْ أَمَرَنِى بِإِعْفَاءِ لِحْيَتِيْ وِقَصِّ شَارِبِي – تاريخ الطباري 133 : 2-
Siapakah yang memerintah kamu berdua atas hal ini? Keduanya menjawab, “Tuan kamilah yang memerintah ini yaitu kaisar’. Rasulullah saw. bersabda, ‘Bahkan Tuhanku telah memerintahkan aku untuk membiarkan janggutku dan mencukur kumisku.”.
Di dalam riwayat-riwayat lain diterangkan sebagai berikut :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قاَلَ :  قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ  r :  خَالِفُوا  الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحْىَ – متفق عليه -
Dari Ibnu Umar, ia mengatakan, “Rasulullah saw. Telah bersabda, ‘Berbedalah kalian dengan musyrikin, cukurlah kumis-kumis dan biarkanlah janggut-janggut.”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  r جُزُّوا الشَّوَارِبَ  وَأَرْخُوا اللِّحْىَ خَالِفُوا الْمَجُوْسَ –  رواه ومسلم, شرح النووي 3 : 147 -
Dari Abu Hurairah r.a. ia mengatakan, ” Rasulullah saw. bersabda, ‘Cukuplah kumis-kumis sampai habis dan biarkanlah janggut-janggut, berbedalah kalian dengan Majusi.’”
Hadis-hadis ini jelas sekali memerintahkan agar kita berbeda dengan orang-orang musyrik termasuk orang majusi, antara lain dalam urusan memanjangkan janggut dan mencukur kumis. Maka dapat dipahami bahwa orang-orang musyrik antara lain orang-orang majusi memanjangkan kumis dan mencukur janggut.
Berdasarkan perintah Allah dan Rasul diatas, maka janggut itu wajib dibiarkan dan termasuk memelihara fitrah. Bahkan nilainya lebih dari sunah-sunah fitrah lainnya, karena jika pada memoptong kluku, mencabut bulu ketiak, dan lain-lain nilainya hanya kebersihan, sedangkan pada membiarkan janggut dan mencukur kumis nilainya adalah khilaful musyrikin. Adapun hadis-hadis yang berbentuk khabariyah terangkat menjadi insyaiyah. Oleh karena itu kesimpulannya tiada lain bahwa membiarkan janggut hukumnya wajib dan memotong apalagi mencukurnya sampai bersih merupakan dosa besar dan pelakunya wajib bertobat. Demikian pula dengan memanjangkan kumis.
Sumber : http://pesantrenpersis88.wordpress.com/2012/03/23/hukum-memanjangkan-janggut-dan-mencukur-kumis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar